Anak dan Daerah Bencana Alam
Negara Indonesia yang terletak di antara dua benua dan di lintasan khatulistiwa merupakan wilayah yang rawan bencana, baik itu akibat dari proses yang alamiah yang tak dapat dihindari maupun akibat ulah tangan manusia yang sebetulnya masih bisa dicegah. Beberapa alasan kerawanan wilayah negara kita dari bencana alam adalah sebagai berikut:
- Berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia (lempeng Eurasia, India Australia, dan Samudra Pasifik);
- Berada pada pertemuan tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pacific dan Circum Australia), dengan lebih dari 500 gunung api, 128 gunung di antaranya masih aktif;
- Merupakan negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya merupakan perairan;
- Memiliki sekitar 500 sungai besar dan kecil, di mana 30% di antaranya melintasi wilayah padat penduduk;
Tata ruang wilayah belum tertib; dan - Banyak terjadinya penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam.
Jenis bencana yang terdapat di Indonesia juga sangatlah beragam yang dikelompokkan ke dalam dua kategori besar yakni bencana akibat faktor alam yang terdiri dari banjir, tanah longsor, letusan gunung api, tsunami, angin topan, gempa bumi, kekeringan, kebakaran hutan, hama tanaman, wabah penyakit serta bencana akibat faktor ulah manusia yakni musibah industri, kegagalan teknologi, pencemaran lingkungan, tanah longsor, kebakaran, kecelakaan, konflik/kerusuhan sosial dan aksi teror/sabotase.
Peristiwa gempa bumi yang berkuatan 8,9 skala Richter disusul dengan gelombang Tsunami di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara tahun 2004 dan gempa tektonik di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006. Bencana-bencana tersebut, selain menelan korban jiwa penduduk, juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti bangunan-bangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi publik, dan bangunan-bangunan pemerintah, serta mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kondisi psikologis dan tingkat kesejahteraan.
Pelajaran besar yang dapat dipetik dari berbagai bencana adalah anak-anak terutama anak usia dini, merupakan kelompok paling rentan yang menjadi korban pertama dan paling menderita daripada orang dewasa. Mereka belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi korban lebih besar. Sebagai akibatnya mereka mengalami trauma fisik dan psikis yang salah satunya karena kehilangan orang tua dan keluarganya; selain itu, keterbatasan pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pangan, mengakibatkan mereka mengalami kekurangan gizi; pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih di tempat penampungan (pengungsian) yang terbatas mengakibatkan mereka mudah terserang berbagai macam penyakit; akses terhadap pendidikan, perolehan informasi dan hiburan dari televisi, radio, telepon dan suratkabar juga terbatas; demikian pula anak-anak beresiko terhadap tindak kekerasan seperti menjadi sasaran perdagangan dan pengiriman keluar daerah bencana (trafiking). Akan tetapi penanganan perlindungan anak secara umum belum maksimal, namun kejadian-kejadian bencana memerlukan perhatian yang khusus terdapa anak dalam siatusi bencana.
Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi sulit tersebut, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan dalam beberapa pasal, sebagai berikut: Pertama, pada pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya, berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat. Kedua, pada pasal 60 dinyatakan antara lain bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak korban bencana alam. Ketiga, pada pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan khusus tersebut dilaksanakan melalui:
- Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
- Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Berbagai faktor kendala perlindungan anak dalam penanganan bencana alam di Indonesia antara lain:
- Belum adanya Undang-Undang tentang penanggulangan bencana.
- Belum ada rumusan kebijakan tentang perlindungan khusus bagi anak dalam situasi darurat.
- Penanganan bencana selama ini masih terpusat pada tahap penyelamatan korban, dan belum menyentuh pada pemulihan hak anak korban bencana.
- Terbatasnya pengetahuan orang tua dan masyarakat tentang perlindungan anak khususnya dalam situasi bencana.
- Terbatasnya sumber daya bagi perlindungan anak korban bencana.
- Koordinasi dan kerjasama antara lembaga belum efektif dalam upaya perlindungan terhadap anak korban bencana.
Sejalan dengan itu Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 pada Bab 12 menyatakan, salah satu kegiatan pokok Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak adalah Pengembangan Mekanisme Perlindungan bagi Anak dalam Kondisi Khusus, seperti bencana alam dan sosial (termasuk konflik).