CATATAN PERJALANAN MENGIKUTI KONFERENSI KLA SE ASIA PASIFIK

1502

Antara Jakarta dan Narita

Penerbangan menuju Tokyo malam hari, maka saya putuskan untuk berangkat langsung dari kantor untuk menghemat waktu. Di lantai 12 sore itu tinggal beberapa pegawai saja, setelah berpamitan dan say hello dengan mereka aku langsung menuju lift dan tak lama kemudian sudah masuk dalam antrian kemacetan malam di jalan Juanda, jalan Garuda terus menuju pintu tol kemayoran.

Jam menunjukkan pukul 21.11 saat saya tiba di terminal 2 Bandara Soekarna Hatta, aku ingat kalau aku belum makan siang dan itu pula yang menuntun langkahku menuju counter makanan panas ‘bakso malang’ diteminal keberangkatan dan dalam sekejab saja satu mangkuk bakso itu ludes, lambungku terasa hangat dan akupun bisa melangah lebih nyaman.

Seperti kebanyakan orang lainnya, aku menuju ke International departure counter, ikut antri beberapa saat kemudian check in dan semuanya berjalan lancar. Berbeda dengan yang lain, bagasiku hanya sebuah ransel ukuran sedang dgn isi pakaian secukupnya seberat 7.2 kg saja, sementara antrian disekitarku membawa koper besar yang entah apa isinya. Masuk ruang tunggu ada pemandangan yang berbeda sembilan puluh persen, kira-kira, yang ada di ruangan itu berwajah jepang, usia mereka bervariasi dari yang masih remaja sampai yang manula.

Ruang tunggu belum begitu ramai, kuselonjorkan kakiku yg terasa penat sambil nonton tv yang isinya berita parpol yg terus diulang-ulang dan membosankan, aku sempat tertidur beberapa saat karena ketika aku terbangun disekitarku sudah ramai orang dan jam di tanganku menunjukkan angka 11.12 artinya beberapa saat lagi boarding time.

Kulihat bebebrapa orang menguap lebar-lebar tidak peduli orang disekitarnya, mungkin karena sudah terlalu terlalu mengantuk. Disudut lain terlihat pasangan muda yang saling bergelendotan, berpegangan tangan seolah takut jatuh atau takut pasangannya hilang sehingga tangannya dipegang terus. Aku sendiri terus membolak-balik koran ditanganku yang beritanya sudah kubaca semua. Panggilan boarding dari pengeras suara yang kresek-kresek, tidak jernih karena termakan usia itu membuat semua orang bergegas menuju pintu antrian.

Tepat pukul 00.22 Garuda Indonesia Air Bus A.330 lepas landas di kegelapan malam CGK menuju Narita, saat burung besi raksasa itu membelok, terlihat kota Jakarta bermandikan cahaya yang luar biasa indahnya. Saya duduk di kursi 21.J, window site pesawat, tasku sengaja tidak kuletakkan di rak atas karena disitu ada makanan dan bacaan yang akan bermanfaat dalam menempuh perjalanan 6 jam dan 50 menit dari Jakarta menuju Narita International Airport di Tokyo yang saya bayangkan akan membosankan.

Tapi bayangan membosnkan itu sedikit berubah ketika disampingku yang duduk adalah mahasiswi Jepang yang sedang kuliah bahasa Indonesia di UI. Obrolan kesana kemari menggunakan bahasa campuan Inggris, Indonesia dan sedikit dialek Jakarta karena Yu Notsuki, tetangga dudukku itu, itu sudah bisa bilang “enak aja lu” atau “gue lagi bête” walaupun penempatannya sering kurang tepat tapi hal itu menunjukkan dia sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia. Dengan bangganya ia menunjukkan foto-fotonya ketika bertamu ke rumah kawan-kawannya orang Indonesia. Yu Notsuki juga bercerita pernah kesasar di Jakarta dan tidak bisa pulang ke tempat kostnya di kawasan salemba.

Obrolan itu lumayan berguna untuk mengusir sepi dalam perjalanan malam itu dan setelah dua jam terbang, kira-kira diatas Kalimantan timur, kami berbicara setengah berbisik karena suasananya hening sampai akhirnya kami sepakat menghentikan obrolan karena penumpang lain sudah mulai lelap tidur dan terasa tidak nyaman kalau kami tetap bersuara walaupun pelan-pelan. Selanjutnya saya mengambil head phone dan setelah memindahkan beberapa channel, saya menemukan musik classic instrumental Beethoven yang enak untuk pengantar tidur, tapi sudah beberapa lagu berlalu mataku tidak juga terpejam.

Aku tenggelam dalam khayalan ditengah gelapnya malam di ketinggian 40.100 kaki diatas permukaan laut, saya coba melihat keluar jendela dan yang ada cuma gelap dan deru mesin pesawat, sesekali terlihat milyaran bintang yang berkelip di kejauhan dan sepotong bulan sisa purnama minggu lalu yang masih menampakkan keindahan di sela-sela kilatan lampu sayap yang terus memancarkan signal untuk menara pengawas penerbangan di bandara yang dilewati, bandara asal dan bandara tujuan. Aku melihat pramugari Garuda masih ngobrol sambil duduk di kursi belakang ketika aku ke toilet sambil melewati koridor yang remang-ramang.

Di seberang agak jauh aku juga melihat orang jepang setengah baya masih menyalakan laptop dengan cueknya mengetik walaupun semua penumpang sudah lelap. Karena aku belum mengantuk meskipun jam Jakartaku sudah menunjukkan pukul 02.55, akhirnya kuputuskan untuk meniru orang jepang tadi, aku mengambil notes dan kutulis sekenannya saja catatan perjalananku, mungkin ada gunanya, setidaknya untuk anda yang sempat membaca catatan ini, sambil menunggu rasa kantuk, aku baru ingat kenapa aku sult tidur, tadi sambil menunggu boarding saya minum secangkir kopi maksudnya supaya tidak ngantuk tapi justru tidak bisa tidur. Lama tidak bepergian ke luar negeri, to be honest kepergian ini mengingatkanku ketika aku banyak bepergian ke Eropa, Australia dan Asia beberapa tahun lalu, yaitu saat saya merasa berada di puncak ‘karir’.

Menjelang dinihari, di atas langit Filipina cuaca cerah, sehingga aku dapat melihat fenomena alam yang menakjubkan yaitu melihat mata hari terbit dari ketinggian sekitar 56 km diatas bumi, fajar shidiq berwarna jingga menunjukkan keagungan tuhan sang pencipta dan membuat manusia meras sangatlah kecil di jagat raya ini.

Makan pagi dihidangan tak lama kemudian, 1 set omelet, yogurt dan roti dan satu gelas kecil minuman sari buah, saya lahap sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi dari jendela yang sengaja kubuka lebar. Informasi di layar televise menunjukkan bahwa posisi pesawat saat itu beberapa ratus mil sebelum Fukuoka, wilayah jepang paling selatan.

Cuaca cerah sumringah, saat pesawat mendarat pada pukul 09.08 waktu Tokyo atau sekita 07.08 WIB, belum sempat saya turun dari pesawat, nuansa KLAnya sudah terlihat, pesawat-pesawat domistic dan internasional Japan Air Lines selalu ada tulisan “we support unicef” sebuah kalimat pendek yang mengambarkan kepedulian orang Jepang terhadap anak. Setelah menyeleasikan urusan di counter imigrasi saya menuju claim baggage, ketika masuk di toilet terlihat penempatan toilet cukup rendah dan desainya sedmikian rupa sehingga cukup ramah pada anak-anak.

Diantara toilet yang ada terdapat satu yang cocok atau sebut saja ramah pada anak dan juga untuk lansia karena ada pegangan (lihat gambar). Kota Tokyo dan kota-kota lain di Jepang bisa dikatakan mirip dengan Eropa, hal ini terjadi, kata Kumi Tashiro yg saat itu menemani saya, karena sejak perang dunia ke dua, banyak sekali konsultan pembangunan dan perencanaan berdatangan dari Amerika dan Eropa, sehingga hal itu mempengaruhi bentuk dan model arsitektur di Jepang. “kalau mau melihat Japan yang original, kamu harus ke Kyoto dimana semua keaslian Japan dipertahankan” befitu katanya sambil memberi saran.

Hal yang dominan mirip Eropa selain arsitektur bangunan juga system transportasi dan pemukiman yang mengikuti jalur kereta api dalam radius 3 sampai dengan 5 kilometer. Hal ini membuat kemacetan di Jepang relatif terkendali, terutama bila dibandingkan dengan Jakarta. Rasio kepemilikan kendaraan pribadi juga sangat baik dalam arti keseimbangan, dimana hapir 70 persen orang menggunakan angkutan umum. Hal ini sangat mungkin karena kualitas pelayanan transportasi umum sangat baik, ditambah lagi pajak kendaraan bermotor mahal.

Menuju Kawasaki

Beberapa menit kemudian saya bertemu dengan utusan Prof. Dr. Isami Kinnosita, namanya Mutiara anak Jakarta yang sedang kuliah S.3 di Chiba University, setelah berdiskusi akhirnya diputuskan langsung melakukan kunjungan lapangan di kota Kawasaki. Agendanya adalah untuk bertemu dengan salah satu kepala bagian tata ruang di kantor Walikota Kawasaki yang banyak menangani taman bermain anak sebagai salah satu indicator kota layak anak atau CFC. Mr. Shigeyoshi Maki, sudah berdiri di depan gerbong kereta saat kami turun di stasiun Inage dan selanjutnya kami pindah kereta untuk menuju Kawasaki untuk melihat beberapa playground yang dibangun oleh pemerintah kota Kawasaki. Saya berkesempatan untuk mewawancarai anak-anak, pengurus playground, orang tua anak-anak dan beberapa mahasiswa yang sedang mengadakan pengamatan di lokasi taman bermain anak.

Jepang bukan bandingan Indonesia dalam KLA

Dalam hal kota layak anak dan segala macam sarana pendukungnya, Negara Jepang sebagai Negara maju tidak fair bila dibandingkan dengan Indonesia. Oleh karena itu catatan dibawah ini merupakan usaha untuk menunjukkan perbedaannya saja, bukan membandingkan dengan Indonesia, dengan harapan dapat menjadi bahan informasi yang berguna dalam mengembangkan KLA.

Hal-hal tersebut antara lain:

Children’s environment dan Child Friendly City (KLA)

Istilah KLA relative belum begitu popular di Chiba, kecuali di kalangan activist anak dan lingkungan atau universitas. Istilah Children’s Environmen, maksudnya lingkungan yang baik bagi anak, lebih dikenal public.

Chiba kota bernuansa bunga

Walikota Chiba (bacanya ciba) yaitu Bapak Keiichi Tsuruoka mencanangkan Chiba sebagai kota bunga sejak sekitar 5 tahun lalu, inisiatif yang cukup berani karena sepanjang mata memandang, kota chiba adalah jejeran beton bertulang yang kokoh karena konstruksinya dirancang untuk tahan gempa sehingga tiang pancang gedung-gedung terlihat lebih gemuk dari pada kota lainnya. Sekilas tidak terlihat banyak bunga. Dalam situasi seperti itulah kota bunga dicanangkan, menurut saya mungkin yang dimaksud bukan kota bungan seperti yang ada di Indonesia tapi lebih pada “kota yang banyak bunganya” the flowery city of Chiba.

Tempat bermain anak atau play gound

Hampir di setiap pemukiman penduduk terdapat sarana atau tempat bermain anak atau playground. Walaupun tingkat kelengkapan sarana dan prasarana bermain bervariasi dan terlihat makin besar pemukiman warga makin lengkap sarana bermainnya.

Jenis taman bermain berdasarkan luas area

Menurut Shiyogi Maki, manager for park and green space construction division dari the City of Yokohama, Jenis taman bermain dapat dikalsifikasikan sebagai taman bermain kecil yaitu dan pada setiap empat taman bermain sedang terdapat 1 taman bermain besar. Sementara itu di City of Chiba menggunakan ukuran 10 meter persegi per anak, ukurn tersebut termasuk taman atau playground yang ada di sekolah maupun di pusat-pusat kegiatan remaja.

Jenis taman bermain menurut fungsinya

Dilihat dari fungsinya, taman bermain atau playground dapat dibedakan menjadi 6 jenis yaitu:

Limited playground – Yaitu playground yang hanya bisa digunakan sebagai sarana bermain dan berekreasi saja dimana anak-anak tidak diizinkan untuk melakukan perubahan apapun di dalam taman tersebut. Tamanini terbuka untuk umum dan bisa di akses 24 jam 7 hari dalam satu minggu.

Free Playground – Yaitu playground yang membebaskan anak untuk merubah atau melakaukan “apa saja” didalamtaman dibimbing oleh pekerja sosial terlatih. Perubahan tersebut antara lain, anak-anak boleh menggali, menanam memotong kayu, membuat tenda atau rumah-rumahan, membakar, memanjat dll.

School playground – Yaitu playground yang ada di kompleks sekolahan dimana anak-anak hanya diperbolehkan menggunakan sarana tersebut hanya pada jam sekolah buka.

Indoor playground – Playground yang harus membayar bagi anak-anak yang akan menggunakannya, biasanya berada di tempat-tempat niaga.

Personal playground – Yaitu playground milik pribadi atau perorangan yang hanya dipakai oleh anak dari kalangan terbatas dan jumlahny atidak banyak. Hanya orang yang sangat sejahtera yang dapat membangun playground pribadi. Lazim jug aplayground semacam ini dimiliki oleh perusahaan tertentu.

Outbound centre – Outbound centre adalah playground dalam ukuran besar > 40.000 m2 yang dilengkapi dengan instruktur, sarana penginapan, museum, labolatorium dll biasanya digunakan oleh anak-anak remaja dan pemuda dan bersifat commercial. Contohnya playground di Kawasaki dilengkapi dengan sarana dan prasarana pengembangan bakat dan minat anak, seperti music, olah raga dan kesenian. Di dalam areal playground juga terdapat semacam toko yang “menjual” barang-barang, pakaian dan perlengkapan lain yang merupakan donasi dari warga yang tidak lagi membutuhkan barang-barang tersebut. Bisa dilakukan pembelian dengan harga yang sangat murah, bisa juga ditukar dengan barang lain atau dalam situasi tertentu dapat hanya diminta saja.

Pengeras suara di play ground

Di setiap taman bermain anak, termasuk di sekolah yang ada tamannya dan bisa digunakan oleh anak-anak secara umum, termasuk anak yang tidak sekolah di sekolah tersebut, selalu disediakan pengeras suara, Gunanya untuk mengingatkan anak-anak yang sedang bermain bila sudah waktunya pulang ke rumah.

Peringatan tersebut biasanya disajikan dalambentuk lagu yang populer di kalangan anak-anak dimana syairnya beriisi peringatan dan perintah agar anak-anak mengakhiri kegiatan bermainnya karena hari mulai petang. Fungsi yang lain adalah untuk mengingatkan warga bila akan terjadi bencana gempa bumi atau badai dan sejenisnya.Termasuk ketika rombongan kami mengunjungi tempat tersebut, dari loudspeaker terdengar lagu Old Lange Sine, yaitu lagu perpisahan yang sangat terkenal, ketika kami meninggalkan lokasi tersebut.

Pergi dan pulang sekolah

Di Jepang ada regulasi bahwa anak-anak usia TK atau murit TK harus dinatar orang dewasa atau orangtuanya untuk pergi ke sekolah, namun ketika anak-anak mulai masuk SD maka mereka tidak boleh lagi diantar orang tuanya, kecuali pada situasi tertentu. Anak-anak sejak dini diajarkan untuk mandiri terutama dalam mengurusi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan umurnya.

Mengenali potensi kejahatan

Anak-anak diajarkan oleh orang tuanya untuk menngenali tanda-tanda terjadinya kejahatan dan apa yang harus dilakukan bila hal itu terjadi pada diri mereka, misalnya:

a. Anak dilarang mendekati, berhubungan atau berada dalam situasi tertentu sehingga dikat dengan orang asing.

b. Pergi dan pulang sekolah selalu berombongan dengan teman sebayanya.

c. Menggunakan seragam sekolah untuk membedakan antara anak sekolah dan bukananak sekolah.

d. Saat ini sedang dalam perdebatan tentang adanya keinginan orang tua murid untuk membekali anak-anakny a dengan hand phone.

Mencegah child abuse

Polisi membentuk kader-kader suka rela dari warga di setiap pemukiman di bidang perlindungan anak untuk mencegah terjadinya child abuse atau pelecehan terhadap anak. Rumah kader tersebut diberi kode khusus yang dikenal dan diketahui oleh anak-anak. Apabila anak merasa terancam atau mendapat perlakuan salah dari orang dewasa maka mereka bisa langsung masuk rumah-rumah kader tersebut dan dijamin akan aman. Selanjutnya kader akan segera menghubungi polisi.

Catatan dari meja konferensi:

Child Friendly City (CFC)

Jumlah kota yang mempunyai program child friendly cities (KLA) adalah 900 kota.

Kematian anak

Di Asia Pasifik tercatat 2 anak meninggal setiap menit, demikian dilaporkan oleh direktur unesco Asia Pasifik Dr. Karen M.

Family Child Friendly

Di Seoul ada kebijakan untuk pergi ke sekolah atau ke kantor secara bersama-sama untuk warga dalam kompleks tertentu atau sesame tetangga untuk mengindari kemacetan. Hal ini termasuk mengantar anak kesekolah tidak perlu satu anak satu mobil. Gagasan ini berasal dari anak-anak itu sendiri yang direspon dengan positif oleh oranng tua mereka.

Video game

Orang tua diminta mewaspadai anak-anak yang terlalu banyak bermain video game akan kehilangan; sensitifitas sosial, toleransi, empaty dan potensi untuk menderita emotional illness.

Terlalu cepat diajarkan independent

Masyarakat internasional, khususnya pengamat psikologi anak, mengkritik masyarakat Jepang yang terlalu dini mengajarkan anak-anak untuk mandiri atau independent. survey menunjukkan bahwa 30 persen anak-anak di Jepang menderita kesepian, hal ini 3 kali lipat dari Negara lain di Asia Pasifik. Alih fungsi tamanDi Swedia terdapat pengalihfungsian taman bermain anak secara signifikan, karena taman-taman tersebut kurang dimanfaatkan oleh anak-anak. Hal ini terkait dengan menurunnya jumlah anak akibat rendahnya angka total fertility rate (TFR) di Swedia.