Kota Ramah Anak

3120

Sejarah

Gagasan Kota Ramah Anak (KRA) diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) – tumbuh kembang di perkotaan – yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press dengan judul “Growing Up In Cities” 1977.

Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukkan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, di samping prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin bahwa anak, remaja, dan perempuan terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan.

Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr. Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research – Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.

Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, Istanbul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat, yakni sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di komuniti; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitinya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:

1. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak,
2. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002).

Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:

1. meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;

2. mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan.

Pengertian

Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak: keputusannya mempengaruhi kotanya; mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan; dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial; menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan; mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik; terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah; aman berjalan di jalan; bertemu dan bermain dengan temannya; mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan yang bebas polusi; berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

MENGAPA PERLU KOTA RAMAH ANAK?

Kondisi Kota

Sekarang ini, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa setengah dari penduduk dunia – 6 miliyar penduduk – tinggal di kota (Christencen, 2003:xv). Kehidupan kota banyak menghadirkan kesempatan, karena di dalamnya terpusat berbagai jenis pelayanan, jaringan, dan sumber daya. Perkembangan dan pertumbuhan kota dan industri yang kurang terencana, menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, telah menambah resiko baru untuk kesehatan anak. Belakangan ini, banyak penyakit yang diderita oleh anak, berkait erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal, belajar, dan bermain – rumah, sekolah dan komuniti mereka.

Anak merupakan bagian dari warga kota. Data UNICEF ada 43 persen atau 33.586.440 jiwa penduduk Indonesia berusia di bawah 18 tahun bertempat tinggal di kota – termasuk anak usia di bawah 5 tahun 9.318.960 anak (Unicef, 2004). Angka ini akan bertambah dengan pertumbuhan 4,3 persen pertahun, sehingga diperkirakan pada tahun 2025, 60 persen warga kota adalah anak. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika Serikat (David, 1995:65), anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama mereka yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang padat, dan perumahan yang kurang sehat serta kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah.

Kondisi lain menggambarkan keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan jalan, dan pedestrian. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran pemerintah kota di bidang anak belum menjadi prioritas dan masih terbatas.

Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, diharapkan ada keseimbangan antara keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan. Misalnya pemerintah tidak dominan dalam proses perencanaan. Pada tahap perencanaan, pendekatan bawah-atas lebih diutamakan dalam pencarian kebutuhan, dibandingkan pendekatan atas-bawah. Begitu pula dengan tahap selanjutnya, masyarakat tetap dilibatkan, sehingga proses tersebut memperoleh legitimasi dan dukungan masyarakat.

Dalam proses pembangunan, peran anak-anak sebagai calon pemimpin bangsa perlu diperhatikan. Peran apa yang diberikan kepada anak dalam kaitannya dengan lingkungan kota? Sebagai pengguna atau pelayan, warga aktif atau warga pasif? Bagaimana anak mempunyai andil di tiap tahap proses pembangunan? Porsi apa yang diberikan kepada anak dalam pembangunan kota? Pernyataan tersebut bermakna bahwa anak mempunyai hak pada tiap proses pembangunan. Hal ini menarik, namun harus dibedakan kelompok anak mana yang dimaksud. Apakah anak pada masa usia 2 tahun, masa usia 3-5 tahun, masa usia 6-12 tahun, masa usia 13-15 tahun, atau masa usia 16-18 tahun?
Pada penelitian tentang ”Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota” yang dilakukan oleh Hamid Patilima (Hamid, 2004) disimpulkan bahwa dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, serta tempat pelayanan kesehatan, merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota di satu sisi pada kasus Kelurahan Kwitang, sedangkan perasaan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan-trotoar yang rusak di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lainnya. Permukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran lain bagi anak, jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma bagi mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan anak.

Tidak semua keluarga informan ini tinggal di rumah yang menjadi milik sendiri, beberapa di antaranya bahkan masih mengontrak. Perasaan nyaman dan tenang, ada pada anak dengan rumah tinggal yang jelas status kepemilikannya (milik pribadi), berbeda dengan anak dari keluarga yang mengontrak atau menumpang di rumah kakek/nenek yang mulai khawatir ketika masa kontraknya selesai dan mereka harus pindah. Mempunyai akses ke sumber air bersih, sistem pembuangan sampah, saluran pembuangan air kotor, jaringan listrik dan telepon adalah hal lain yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman berada di rumah yang mereka tinggali.

Di mata anak, kekurang-disiplinan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama mengenai sampah dan saluran air kotor mengganggu pemandangan dan membuat polusi.

Penerapan sistem ronda siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), adanya pos kamling, dan lampu penerangan jalan yang cukup membuat anak-anak Kwitang merasa aman dengan lingkungan mereka.

Rusaknya ruas jalan di beberapa bagian dan trotoar di beberapa titik hingga beralih fungsinya tempat ini menjadi tempat usaha bagi pedagang kaki lima, dianggap anak mengganggu karena bisa membuat pejalan kaki terperosok, terjatuh, atau bahkan terserempet kendaraan.

Gedung sekolah yang kokoh, berhalaman luas, dan berpagar besi, membuat anak-anak ini merasa tenang bersekolah. Bentuk gedung yang bertingkat mereka ungkapkan sebagai satu ketidaknyaman untuk berinteraksi dengan teman mereka di lantai yang lain, karena mereka enggan untuk naik atau turun.

Ruang terbuka belum menjadi prioritas pemerintah kota dalam pembangunan kota. Hal ini teridentifikasi oleh anak-anak Kwitang bahwa, mereka tidak mempunyai tempat bermain aktif yang aman dan nyaman. Jalan, taman (Tugu Pak Tani), bantaran kali (Kali Ciliwung), halaman sekolah, tempat parkir, dan tanah kosong adalah tempat-tempat favorit yang mereka manfaatkan sebagai tempat bermain. Syarat keselamatan, jauh dari tempat tinggal dan pantauan orang-tua/orang dewasa tidak menjadi pertimbangan mereka.

Demikian juga halnya dalam bidang transportasi. Rasa aman dan nyaman menggunakan jasa transportasi seperti bus dan kereta api ketika bepergian, belum mereka rasakan sepenuhnya. Kondisi kendaraan yang kurang baik, seperti coretan di dinding, bangku rusak, sampah berserakan, panas, berbau dan berdiri berdesakkan mereka deskripsikan sebagai ketidaknyaman berkendaraan. Cerita mengenai adanya copet membuat kekhawatiran mereka bertambah. Bus yang selalu tergesa-gesa ketika menurunkan penumpang, berhenti secara mendadak, penumpang yang terjatuh atau terantuk besi karenanya, sopir dan kernet yang kerap berperilaku kasar terhadap penumpang diungkapkan anak sebagai hal yang menakutkan ketika naik bus kota. Hal yang kurang lebih sama juga mereka rasakan di kereta api. Jatuh, tertindih atau terpisah dengan orangtua sehingga tidak bisa kembali ke rumah adalah hal yang menakutkan mereka naik kereta api.

Penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit yang umumnya diderita anak-anak ini. Penyakit-penyakit tersebut erat kaitannya dengan resiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higienis, sanitasi yang buruk, dan polusi udara di lingkungan tempat tinggal, tempat belajar, dan bermain.
Kota yang Mereka Inginkan

Kota yang diinginkan oleh anak adalah kota yang menghormati hak-hak anak yang diwujudkan dengan (Innocenti Digest No.10/10/02:22): menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan; menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak; menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya; keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam; memberikan perhatian khusus kepada anak seperti yang tinggal dan bekerja di jalan, eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua; dan adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.

Lebih khusus, apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save the Children, 1996:13-15):

mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua;

mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat kurangi bila orang tua peduli terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual;

mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja;

mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh;

mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil dan anak dengan kecacatan;

mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena tempat mereka tidak dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di wilayah kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk;

mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi; dan ramah anak.

BAGAIMANA MEWUJUDKAN KOTA RAMAH ANAK?

Kemitraan

Kota Ramah Anak terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil.
Kebijakan dan Anggaran

Kendala utama dalam mewujudkan konsep Kota Ramah Anak adalah kurangnya kebijakan dan terbatasnya anggaran pembangunan untuk anak. Keberhasilan kota-kota di Philippines dalam mengadopsi konsep Kota Ramah Anak adalah karena adanya inisiatif dan komitmen dari pemerintah kota yang tergabung dalam liga kota, disamping kuatnya organisasi dan peran serta komuniti. Keadaan serupa terjadi di Australia dan India. Penerapan konsep Kota Ramah Anak di kedua negara ini didukung oleh undang-undang. Sedangkan di kota Poerto Alegre, Brazil, konsep ini mudah diterima, karena ada dukungan dana untuk pelayanan dasar kesehatan dari pemerintah, yakni dengan dilibatkannya warga kota termasuk anak, untuk berperan serta dalam penyusunan anggaran. Jadi tidak mengherankan kalau kemajuan yang dicapai oleh Poerto Alegre dalam menurunkan angka kematian bayi menjadi suatu prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pemerintah kota harus didukung oleh kebijakan dan anggaran. Untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan dukungan dan dorongan dari semua pihak, untuk mendesak pembuatan kebijakan dan peningkatan anggaran untuk anak.

Peran

Seperti pada uraian sebelumnya, kita dapat mengidentifikasi peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan konsep Kota Ramah Anak. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Legislatif berperan dalam kebijakan; eksekutif berperan dalam perencanaan, anggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan peninjauan kembali kebijakan; pihak swasta memberikan konsesi dan dana tanggung jawab sosial; organisasi non pemerintah berperan dalam advokasi kebijakan dan anggaran; dan masyarakat sipil berperan dalam pelaksanaan.
Sosialisasi

Berbagai produk kesepakatan internasional dan kebijakan nasional yang terkait dengan konsep Kota Ramah Anak perlu diketahui oleh pemerintah kota, pihak swasta, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil. Produk kesepakatan dan kebijakan itu dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Kesepakatan internasional
Berikut ini beberapa kesepakatan internasional yang disepakati oleh pemerintah:
a. Konvensi Hak Anak (1989);
b. Agenda 21 (1992);
c. Beijing Platform for Action (1995);
d. Agenda Habitat II (1996);
e. Deklarasi Dakar – pendidikan untuk semua (2000);
f. A World Fit for Children (2002);
g. Millennium Development Goal (2001); dan
h. Plan of Implementation World Summit on Sustainable Development (2002)
2. Kebijakan nasional
Berikut ini kebijakan nasional yang perlu diketahui, antara lain:
a. Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b. Kepres No. 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak;

Kesepakatan dan kebijakan ini dapat dibaca, diketahui, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan. Salah satu caranya adalah melalui sosialisasi. Bentuk dan jenis sosialisasi dapat berupa publikasi, seminar, dan penjelasan langsung kepada masyarakat, baik dengan bertatap muka maupun dengan perantara media cetak dan media elektronik.

Komitmen

Pihak-pihak yang terlibat dalam mendorong peran serta untuk mengadopsi konsep Kota Ramah Anak perlu menyusun komitmen-komitmen yang akan menjadi sasaran Kota Ramah Anak. Komitmen yang perlu disusun dan disepakati oleh pemerintah kota, sektor swasta, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil antara lain:

1. Untuk tujuan bidang kesehatan, yang ingin dicapai adalah:
a. semua anak tercatat pada saat lahir;
b. semua bayi memperoleh Air Susu Ibu eksklusif selama 6 bulan;
c. semua anak memperoleh imunisasi secara utuh – BCG, DPT, tetanus, polio, dan cacar;
d. semua anak memperoleh makanan yang baik;
e. semua anak usia 1-5 tahun memperoleh Vitamin A dua kali dalam setahun;
2. Untuk tujuan bidang kesehatan ibu hamil, yang ingin dicapai adalah:
a. semua waniya yang melahirkan memperoleh pelatihan oleh tenaga ahli;
b. semua wanita hamil memperoleh semua jenis pemeriksaan kesehatan;
c. semua wanita hamil memperoleh imunisasi tetanus;
d. semua wanita hamil memperoleh Vitamin A dan zat besi;
e. semua wanita hamil mendapat pelayanan darurat;
3. Untuk tujuan bidang pendidikan, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 3-5 tahun memperoleh program pendidikan usia dini;
b. semua anak usia 6-17 tahun dapat bersekolah;
c. semua anak lulus di pendidikan dasar dan menengah pertama;
d. semua anak yang putus sekolah diberikan pendidikan alternatif;
e. semua orang tua yang buta huruf mendaftar pada program literasi
4. Untuk tujuan bidang perlindungan, yang ingin dicapai:
a. menghapuskan semua bentuk eksploitasi ekonomi, seksual, dan bentuk pekerjaan yang berbahaya, pelacuran dan pornografi;
b. semua kasus child abuse (pelecehan) terhapus dari rumah dan komuniti;
5. Untuk tujuan bidang peran serta, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 9-18 tahun berperan-serta dalam kegiatan sosial budaya dan pengembangan komuniti;
b. adanya wadah bagi anak untuk dapat menyampaikan pendapat dan aspirasi;
c. adanya pertemuan yang teratur dalam penyusunan anggaran dan kebijakan yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan anak.
6. Untuk tujuan kebutuhan keluarga, yang ingin dicapai:
a. semua keluarga mempunyai akses terhadap air minum yang bersih dan aman;
b. semua keluarga menggunakan garam beriodium;
c. semua keluarga menggunakan sanitasi dan WC;
d. semua ayah dan ibu berbagi kepedulian dalam membesarkan anak.
7. Untuk tujuan pelayanan transportasi, yang ingin dicapai:
a. transportasi dapat diakses oleh anak, orang tua, dan orang yang hidup dengan kecacatan secara murah dan adil;
b. transportasi didesain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi anak;
c. peningkatan sistem transportasi dengan memperkenalkan tiket terusan;
d. pedestrian dan penyeberangan didesain sesuai kebutuhan anak;
8. Untuk tujuan tempat bermain, yang ingin dicapai:
a. jarak tempat bermain dengan kompleks dekat, misalnya 50 meter dari rumah untuk balita 0-5 tahun;
b. penyediaan fasilitas tempat bermain;
c. pengawasan orang-tua terhadap anak.
d. bersama anak menentukan lokasi dan desain tempat bermain.
Daftar Kepustakaan

Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Children’s Participation in Environmental Planning. London: The Children’s Society.

Christencen, Pia & Margaret O’Brien (edit.). (2003). Children in the City Home, Neighbourhood and Community. New York & London: Routledge Falmer.

Hendricks, Barbara. (2002) “Child Friendly Environments in the City.” di Brescia: Ordine degli Achitetti.

Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence – Italy: UNICEF Innocenti Research Centre.

IULA&UNICEF. (2001). Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child Rights with Local Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research Centre

Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota – Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia