JAKARTA – Partisipasi anak-anak perempuan di daerah konflik untuk bersekolah, ternyata lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Contohnya di daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan di propinsi Riau. Kendati demikian, nasib kaum perempuan di daerah konflik paling mengenaskan. Demikian yang mengemuka saat Menteri Pemberdayaan Perempuan Dr Meutia Farida Hatta Swasono mengadakan pertemuan dengan para pejabat eselon I seluruh departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen yang melaksanakan program Pengarusutamaan Gender (PUG) di kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan baru-baru ini.
Sebenarnya, pada tingkat nasional partisipasi anak perempuan dan anak laki-laki dalam bersekolah di tingkat SD sama, yakni 100 persen. Pada tingkat SLTP keikutsertaan anak perempuan menurun menjadi 70 persen dibandingkan siswa pria dan tingkat SMA/SLTA siswa putri makin menurun partisipasinya, hanya sekitar 40 persen dibandingkan siswa pria. Sedang di sekolah kejuruan (SMK) ada istilah SMK ‘macho’ dan ‘female’, seperti STM, SMK Kelautan, Industri dan Teknologi untuk ‘macho’ dan SMK SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga) untuk putri. Di SMK ‘female’ kesertaan siswa putri tidak ada masalah, tetapi di sekolah SMK ‘macho’ sebaliknya, siswa putri yang hanya terdiri dari beberapa orang itu, seharusnya mendapat perhatian, agar mereka bisa menyelesaikan studinya, yaitu mereka siswa putri diprioritaskan mendapat beasiswa. Sebab banyak sekali tenaga perempuan yang diperlukan untuk industri dan teknologi elektronika. Sebab sudah terbukti anak perempuan lebih teliti dan terampil dalam bidang ini.
Hal yang merisaukan adalah kelanjutan anak perempuan meneruskan studinya , seperti dari SD ke SLTP, SLTP ke SLTA dan seterusnya. Hanya 79,7 persen anak perempuan yang melanjutkan ke tingkat SLTP. “Dari SLTP ke SLTA hanya 43,1 persen, anak perempuan melanjutkan studinya,” tutur Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional Dr Fasli Jalal pada presentasi PUG tersebut di sektor pendidikan. Agar anak perempuan bisa melanjutkan studinya ke tahapan berikutnya, harus ada dinamika dalam keluarga, dan ini sangat tergantung pada tingkat pendidikan kaum perempuan, ibu atau nenek.
Secara nasional kini tinggal 10 persen penduduk Indonesia yang buta huruf (BH). Berarti jumlahnya 15 juta orang, yang sebagian besar berumur 20 tahun ke atas (yang kebanyakan akan menjadi orang tua/sudah jadi orang tua dengan beberapa anak yang harus disekolahkan). Mereka berjumlah 10.880.469 orang dari jumlah 15.514.581 orang yang seluruhnya BH. Seharusnya bangsa Indonesia dapat membebaskan setiap tahunnya 1,5 juta dari BH. Tetapi kenyataannya, hanya dapat terbebas 150.000 orang tiap tahun. Itu pun masih dibebani setiap tahun terdapat 700.000 anak SD yang drop out (DO) dari SD yang berpotensi menjadi BH kembali.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida H. Swasono, sebenarnya ada kecenderungan pelaksanaan PUG meningkat. Hal ini tampak dari tersusunnya program pembangunan di berbagai sektor yang responsif gender, pada tahun 2000 tercatat 19 program, naik menjadi 26 program pada tahun 2002, dan tercatat 32 program pada tahun 2003 naik menjadi 38 program pada tahun 2004. Dukungan anggaran juga meningkat bagi pelaksanaan pembangunan PUG, yakni Rp 7 milliar pada tahun 2001 menjadi Rp70 milliar pada tahun 2004. SDM pun telah terbangun melalui berbagai kegiatan sosialisasi, advokasi dan pelatihan analisis gender, untuk meningkatkan kesadaran, kepekaan, respons serta keterampilan dan motivasi yang kuat dalam melaksanakan PUG di unit kerjanya. Namun pelaksanaan PUG sebagai suatu strategi masih berjalan lambat. Padahal tujuan PUG untuk memastikan apakah langkah-langkah dan kaum perempuan mempunyai akses dan partisipasi serta kontrol maupun manfaat yang sama terhadap pembangunan.
Menteri dalam kesempatan itu juga menjelaskan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan ekonomi perempuan melalui fasilitas akses perempuan pengusaha mikro dan pengusaha kecil pada sumber daya ekonomi. Dengan masih jalan lambatnya pelaksanaan PUG, Menteri Pemberdayaan Perempuan mengajak para pejabat eselon I untuk secara sendiri-sendiri atau bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan meningkatkan dukungan pada pokja (kelompok kerja) PUG di tingkat masing-masing departemen/kementerian. Juga meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan antara lain dengan upaya-upaya memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan struktural maupun fungsional.