Suara anak kunci utama dalam setiap tahapan proses pembangunan sebuah kabupaten/kota. Hal ini disampaikan oleh Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dihadapan peserta “2nd International Conference on Child Friendly Asia-Pacific, di Hotel Sunan, Surakarta (30/6).
“Dalam pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak tanpa melibatkan suara anak di wilayah tersebut adalah salah satu ciri kabupaten/kota yang belum dapat dikatakan layak bagi anak. Sedangkan salah satu wujud nyata partisipasi anak adalah dengan melibatkan anak secara aktif suara anak dalam setiap tahap pembangunan sebuah kabupaten kota,” tegas Linda.
Menurut Lenny N. Rosalin bahwa tujuan Konferensi yang berlangsung dari tanggal 30 Juni sampai 2 Juli 2011 “Meningkatkan komitmen, partisipasi dan peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan KLA yang meliputi pemerintah, dunia usa dan masyarakat”. Selain itu melalui konferensi ini para peserta memperoleh hikmah dari pengalaman terbaik negara dan daerah lain dalam mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menghadirkan 28 pembicara dari 15 Negara antara lain dari Australia, Malaysia, Brazil, Sudan, Nepal, Filipina, Jepang, Malawi, Pakistan, dan Selandia Baru. Delapan pembicara dari Indonesia. Para pembicara ini berbagi pengalaman di lapangan tentang keberhasilan dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan wilayah yang layak anak.
Peserta konferensi 70 peserta Internasional yang berasal dari negara di kawasan Asia-Pasifik dan beberapa negara di luar Asia-Pasifik, termasuk para duta besar dari 13 negera, SOM ASEAN dari 10 negara, dan 9 lembaga donor/internasional. Peserta nasional berjumla sekitar 500 peserta yang antara lain berasal dari 33 provinsi dan 90 kabupaten kota wilayah pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, serta wakil kementerian/lembaga, DPR, dan Mahkamah Agung.
Konferensi juga menghadirkan 240 anak yang tergabung dalam Forum Anak Nasional yang berasal dari 33 provinsi.
Pada acara pembukaan hadir Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, yang menegaskan bahwa “Kabupaten/Kota di Jawa Tengah siap mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak”.
Anak sebagai Aktor Sosial
Akhir-akhir ini menurut Karen Malone, Ketua Layak Anak Jaringan Asia Pasifik, telah muncul sosiologi masa kanak-kanak baru yang melepaskan diri dari doktrin individualistik bahwa sosialisasi sebagai internalisasi pribadi anak terhadap pengetahuan dan keahlian orang dewasa. Sebaliknya, masa tersebut dipandang sebagai bentuk struktural dengan daya sosial yang sama seperti masa dewasa, dan anak dianggap sebagai agen sosial yang dapat berkontribusi pada penciptaan ulang masa usia dini dan masyarakat melalui berbagai kesempatana yang diciptakan paralel dengan orang dewasa.
Melibatkan anak dalam Kabupaten/Kota Layak Anak, menurut Karen sangat penting bagi orang dewasa untuk mempunyai pandangan yang sama bahwa anak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk berkontribusi pada tataran kebijakan maupun praktik untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan anak dan lingkungan yang berkualitas tercipta sesuai perpektif mereka.
Anak Butuh Lingkungan yang Aman
Pembangunan kota-kota modern, menurut Riela Provi Drianda dari Chiba University, biasanya ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi, kerap mengabaikan hak-hak anak untuk mendapatkan ruang yang luas untuk anak beraktifitas, berlari, berkeliaran, memiliki lingkungan yang bersih, dan dapat berjalan-jalan dengan aman di sekitar lingkungan mereka. Meskipun kondisi seperti ini hanya terjadi di Negara yang belum berprespektif anak. Jepang sebagai negara maju, kota-kota modern sangat menaruh perhatian pada penciptaan lingkungan yang aman. Fakta, anak-anak pergi dan pulang sekolah berjalan kaki, bahkan mereka juga mendapat ijin yang luas untuk bepergian ke taman dan tempat lain tanpa pengawasan orang dewasa.
Menurut Riela, Jepang mampu menciptakan ruang yang aman untuk anak kekuatannya ada pada masyarakat Jepang yang menjalankan berbagai metode untuk membuat tempat-tempat yang ada lebih aman dan mendidik anak-anak mengenai bagaimana menggunakan ruang secara lebih aman.
Anak Rentan Korban Bencana
Menurut Hamid Patilima, YKAI bahwa anak rentan menjadi korban saat terjadinya bencana. Mereka belum dapat berbuat sesuatu saat terjadi bencana alam dan masa darurat. Anak berhak mengenal dan memahami apa yang akan mereka lakukan sebelum bencana, saat bencana, dan sesudah bencana. Yang terpenting mendengarkan pendapat mereka, dengan tujuan agar anak memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku sebelum, saat, dan sesudah bencana.
Gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) memberikan makna bagi masyarakat, bahwa suara anak perlu dihargai, dihormati, dan didengar dalam membantu mengurangi trauma dan mencari jalan keluar agar mereka mampu bertahan hidup dengan mendirikan Youth Centre. Melalui Youth Centre, anak dan remaja belajar untuk bertahan hidup dengan cara meningkatkan keterampilan hidup, persahabatan, minat dan bakat, meningkatkan nilai positif, dan kompetensi sosial. Akhirnya, mereka mampu menjalani dan menatap kehidupan pada masa datang.