Anak Berhadapan Hukum

2031

Anak Berhadapan Hukum

Salah satu program Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009, adalah ”Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak” yang telah direncanakan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007.

Khusus untuk kegiatan pokok dalam Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak yang bertujuan untuk mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berahlak mulia, serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Salah satu dari 8 butir kegiatan pokok dari program tersebut adalah: “Pengembangan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak, termasuk peningkatan upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, trafiking, dan perlakuan salah lainnya”.

Program tersebut termasuk dalam tugas dan fungsi yang diemban Kementerian Pemberdayaan Perempuan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang “Kedudukan, Tugas dan Tata Kerja Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan”.

Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa, anak, merupakan asset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural, yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang – Undang (UU) Perlindungan Anak, yaitu: UU No. 23 Th 2002 yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berahlak mulia dan sejahtera (Pasal 3 UU Perlindungan Anak).

Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui suatu peradilan khusus (sistem peradilan formal) berdasarkan UU No. 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak.

Hal yang tak terelakkan bagi keterlibatan anak sebagai pelaku adalah terjadinya penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemenjaraan yang mengakibatkan trauma dan berpengaruh buruk terhadap masa depan anak.

Berkaitan dengan hal tersebut dalam penanganan ABH, Konvensi Hak Anak/ Convention on The Rights of The Child, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres No. 36 Th 1990 menyebutkan bahwa : ”Proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak” dan dalam hal ini implementasinya telah dipertegas dan di dukung oleh Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan yang menyatakan bahwa untuk PEMIDANAAN ANAK AGAR DIHINDARKAN DARI PENJARA ANAK (Kompas, November 2007). Dalam pasal 64 UU ayat (2) dan ayat (3) No. 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: ”bahwa Perlindungan khusus bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, dilaksanakan melalui:
-Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
-Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
-Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
-Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
-Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga, dan
-Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
” Ayat (3) mengatakan: “Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui:
-Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
-Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
-Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan
-Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
”Berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan anak terjadi diseluruh daerah dengan berbagai latar belakang. Kasus penculikan Rasya (5 tahun) bulan Oktober lalu menjadi perhatian publik, setelah dilakukan pencarian secara intensif dan setelah mendapat himbauan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, untuk dikembalikan ke orang tuanya, akhirnya penculik menyerahkan ke polisi. Ternyata pelakunya adalah anak sekolah dari sebuah SMA Negeri di Jakarta. Begitu juga kasus lainnya yang menarik perhatian masyarakat seperti Smack Down, perkelahian ala Boxing yang mengakibatkan kematian, pelanggaran susila yang dilakukan anak dan korbannya juga anak, narkotika, Pasalikotropika dan sebagainya.

Proses pidana dalam sistem Peradilan Formil yang dialami anak akan lebih banyak berpengaruh buruk pada masa depannya. Anak yang terlibat dan dilibatkan dalam proses hukum tadi akan menjalani penyidikan, penahanan, sampai pemidanaan.

Pemikiran baru mengenai Penanganan ABH melalui proses hukum dalam sistem peradilan formil dilakukan oleh alat penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Departemen Hukum dan HAM (Rutan, LAPAS, BAPAS), yang dimungkinkan proses hukum tersebut dapat dialihkan dengan penanganan dan pembinaan alternatif dengan cara mencari solusi penyelesaian yang terbaik bagi anak sebagai pelaku. Dengan sistem ini penyelesaian (proses hukum) masalah ABH dilibatkan juga korban, masyarakat serta orang tua pelaku dan orang tua korban dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan rasa adil serta puas bagi semua pihak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam kegiatannya untuk memfasilitasi perlindungan terhadap ABH, melakukan pemetaan terhadap ABH di satu daerah/ wilayah untuk mengetahui sejauh mana penanganan dan pembinaan ABH yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dan Pemda setempat.

Pemetaan terhadap ABH sangat bermanfaat untuk menentukan kebijakan dari KPP agar ABH di wilayah tertentu, mendapatkan penanganan dan pembinaan, dalam kaitannya dengan proses Pengadilan Anak. Salah satu kegiatan KPP adalah Pemetaan di wilayah Propinsi Lampung yang terletak diujung Selatan pulau Sumatera, wilayah perlintasan antar daerah – daerah di pulau Jawa dan daerah di pulau Sumatera. Berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk tahun 2000 – 2005, jumlah penduduk Lampung tahun 2005 tercatat sebesar 6.983.699 orang. Dari total penduduk sebanyak 6.983.699 orang, 51,49 persen atau sebanyak 3.596.432 orang laki – laki sedangkan selebihnya yaitu 3.387.267 orang perempuan. Berarti rasio jenis kelamin atau sex ratio penduduk Lampung adalah sebesar 106,18. Dengan luas wilayah 3.528.835 Ha berarti kepadatan penduduknya mencapai 197,90 jiwa per km2. Jumlah wilayah administrasi di Propinsi Lampung pada tahun 2005 tercatat 10 kabupaten/kota, terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten. Sedangkan jumlah kecamatan dan desa/kelurahan masing-masing sebanyak 181 kecamatan dan 2.203 desa/kelurahan. Bandar Lampung sebagai ibu kota Propinsi merupakan wilayah yang diminati sebagai tempat pencari kerja yang berdatangan dari berbagai kota di Propinsi Lampung, dan hal ini sangat potensial terjadinya tindak kriminal. Untuk keperluan pemetaan terhadap ABH, alat penegak hukum yang dijadikan responden terdiri dari Pengadilan Tinggi Tanjung Karang serta 10 Pengadilan Negeri, Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung beserta 9 Kejaksaan Negeri, Kepolisian, LAPAS serta BAPAS.

Secara umum kasus pencurian memegang ranking teratas dari sejak Penyidikan (Kepolisian) dan telah dilakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), Kejaksaan sampai pada vonis Hakim di PN dan di PT Namun yang menarik adalah kasus narkoba yang ditangani Polda Lampung dan Polres Jajaran tertinggi diantara kasus lainnya baik untuk Tahun 2006 (25 Kasus) maupun tahun 2007 (28 kasus), yang tidak diikuti pada instansi penegak hukum lainnya (Kejaksaan, Pengadilan maupun LAPAS). Hal ini pula yang menjadikan Kepolisian dapat melakukan wewenangnya (diskresi atau diversi) untuk melakukan pembinaan terhadap ABH yang tentunya harus ditindak lanjuti dengan tersedianya sarana dan prasarana rehabilitasi sosial, kesehatan, pendidikan sebagai solusi untuk dapat terpenuhinya hak – hak anak. Selayaknya kasus ABH tidak hanya kasus narkoba saja tetapi juga kasus lainnya yang dapat diterapkan dengan memperhatikan LITMAS yang dilakukan Petugas Kemasyaratan yang dilakukan Petugas Kemasyarakatan (PK) pada BAPAS. Dalam acara Forum Komunikasi mencuat masalah pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di satu wilayah, yang terkenal merupakan daerah yang kriminalitasnya tinggi yaitu Lampung Timur. Keterlibatan anak sebagai pelaku pencurian sudah diketahui orang tuanya bahkan orang tuanya bangga akan keberhasilan sang anak dapat mencuri motor (data dari BAPAS Bandar Lampung, dalam kesempatan pertemuan Forum Komunikasi 7 Desember 2007). Keadaan ekonomi yang sulit bagi keluarga di daerah tersebut menyebabkan anggota keluarga (bapak serta anak) melakukan curanmor ke daerah perkotaan yang sulit di lacak. Situasi masyarakat di daerah tersebut didukung oleh keadaan ekonomi keluarga yang sulit dan melibatkan anak untuk melakukan pelanggaran hukum. Hal-hal tersebut perlu dicari penyebab dan cara untuk menanggulangi permasalahannya.