DAMPAK PEMBANGUNAN KOTA

3010

TERHADAP TUMBUH-KEMBANG ANAK: TINJAUAN PSIKOLOGIS¶

PENGANTAR

Pembahasan tentang anak tentu saja menarik, karena sesungguhnya ketika kita membahas segala sesuatu tentang anak maka pada saat itulah kita tengah merancang suatu masa depan.

Betapa tidak, pada usia 5 tahun pertama terjadi pertumbuhan otak yang begitu pesat, bahkan hingga 80%. Ketika itu perkembangan daya pikir, termasuk perkembangan bahasa serta berbagai keterampilan dasar yang perlu dikuasai seorang anak berkembang optimal sesuai stimulasinya. Berbarengan dengan itu juga terjadi pertumbuhan karakter dan disiplin, hingga usia sekitar 12 tahun. Selanjutnya seorang anak yang tumbuh remaja akan mencari dan memantapkan jati dirinya. Dengan demikian tidak berlebihan jika kita simpulkan bahwa masa-masa tersebut sangat strategis untuk meletakkan fondasi bagi suatu generasi bangsa.
Namun di tengah berbagai krisis yang dialami bangsa kita, dan sangat dominannya agenda politik, tampaknya pembahasan tentang anak seolah termarginalkan. Dalam situasi seperti ini, tentu kita sebagai pemerhati ataupun pihak yang peduli dengan tumbuh kembang anak merasa prihatin.

Hadirnya konsep dan model-model yang mengetengahkan tentang Kota Ramah Anak pada saat sekarang ini agaknya merupakan angin segar, yang minimal membuka pikiran serta mempertahankan semangat kita untuk tetap memberikan perhatian yang besar pada berbagai kebutuhan anak dan juga mempertimbangkan dampaknya ketika suatu kebutuhan tidak terpenuhi.

Dalam konteks ini, pembahasan diarahkan kepada dampak pembangunan kota dengan berbagai dimensinya terhadap perkembangan psikologis anak. Usia “anak” yang dimaksud dalam pembahasan makalah ini adalah 0-18 tahun.

PEMBAHASAN

Kita akan setuju dengan pendapat anak-anak tentang lingkungannya – yang didata melalui penelitian Kevin Lynch (1971-1975) — yaitu bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, memberi kesempatan bermain pada anak, memiliki fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Di samping itu, siapa yang menyangkal bahwa anak-anak juga harus mendapatkan keamanan dan kenyamanan, hingga mereka dapat bebas bermain, belajar berinteraksi dan belajar, seperti yang dinyatakan oleh UNICEF. Bahkan lebih jauh, mungkin kita juga setuju tapi tidak mengira, bahwa perlu diadakan suatu wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka, seperti yang tertulis dalam Innocenti Digest No.10/10/02:22.

Pada kenyataannya, kota-kota yang kita lihat atau ketahui di Indonesia, termasuk Jakarta, masih jauh dari sikap dan harapan kita tentang kota yang ramah kepada anak. Betapa tidak, secara fisik pembangunan di kota kita lebih didominasi oleh pertokoan, mall atau semacamnya; serta perumahan. Pohon-pohon tumbuh seadanya, kalaupun ada lebih diutamakan di jalan-jalan utama. Pabrik-pabrik, yang juga banyak di daerah perkotaan, sering menimbulkan polusi udara dan air. Di samping itu, perumahan-perumahan yang dibuat tampaknya lebih mementingkan aspek keindahan arsitektur dan efisiensi lahan bangunan rumah, daripada lahan bermain yang memadai bagi anak. Sampah pun masih tampak berserakan di banyak tempat, apalagi di sungai / kali. Anak-anak sulit menemukan lahan bermain yang cukup luas dan segar: baik di daratan ataupun di sungai/kali di dalam kota dan sekitarnya.

Kondisi-kondisi fisik tersebut dapat dipersepsi anak sebagai sesuatu yang menyesakkan. Ketika itu mereka tidak merasa nyaman untuk bermain dan belajar, serta berinteraksi sosial. Mereka cenderung memilih kegiatan yang tidak banyak melibatkan aktivitas fisik dan individual (misalnya main play station). Padahal dalam masa pertumbuhan seorang anak memerlukan banyak aktivitas fisik-motorik untuk tumbuh kembang otot-tulang dan penanaman rasa percaya dirinya. Selain itu, interaksi sosial dengan teman sebaya tidak kalah pentingnya. Melalui interaksi sosial anak belajar atau mengembangkan kosakata, saling mendengarkan, berbagi, toleransi, empati, bekerja sama dan mempelajari berbagai nilai kehidupan. Di samping itu, dominasi pembangunan pertokoan / mall (ditambah maraknya tayangan iklan di televisi) memperkuat dugaan munculnya sikap konsumerisme pada anak.

Pembangunan kota yang tidak seimbang dan menimbulkan polusi udara, air, dan pada gilirannya polusi pada bahan makanan, diduga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan autis pada anak. Autisme adalah suatu gangguan pada mental dan perilaku anak, dimana seorang anak sulit untuk berbicara, berinteraksi dan berprestasi secara optimal. Walaupun polusi bukanlah satu-satunya faktor penyebab dan belum terbukti signifikan dari suatu penelitian, namun dari beberapa kasus anak penyandang autis diketahui bahwa pada rambut mereka terdapat kandungan logam yang lebih daripada anak lain yang normal. Jumlah anak penyandang autis dari tahun ke tahun meningkat. Fakta di lapangan tersebut setidaknya merupakan wacana yang serius tentang fatalnya dampak yang dapat ditimbulkan dari polusi udara/air/makanan bagi pertumbuhan & perkembangan anak-anak kita.

Anggaran pemerintah yang sangat terbatas dalam bidang pendidikan menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk menuntut ilmu dalam pendidikan formal masih tergolong tinggi. Apalagi jika kualitas suatu lembaga pendidikan menjadi isu utama, maka biaya pendidikan tinggi tak terelakkan lagi. Hal tersebut menyebabkan rendahnya angka partisipasi sekolah bagi anak-anak kita, dimana dari 15 juta anak yang masuk SD hanya separuhnya yang terus sekolah hingga kelas 6 SD (Bappenas, 2004). Sumber bacaan atau perpustakaan belum menjadi prioritas utama, karena biaya pendidikan masih diutamakan untuk guru dan biaya operasional lainnya. Walaupun demikian, pendapatan para guru secara umum masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan tingginya biaya hidup. Dampak dari berbagai keterbatasan di bidang pendidikan tersebut dapat kita lihat dari hasil penelitian Human Development Index (HDI), dimana mutu SDM kita menduduki peringkat 102 (di bawah Vietnam) dari 106 negara.

Sentralisasi pembangunan yang terjadi selama ini, membuat daya tarik kota begitu tampak mempesona bagi orang-orang di daerah. Banyaknya orang pencari kerja tidak seimbang dengan daya tampung pekerjaan yang ada. Akibatnya banyak pengangguran di kota, ataupun bekerja seadanya demi menjaga kelangsungan hidup. Orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan ini tentu tidak dapat mengenyam pendidikan seperti warga kota lainnya. Kondisi-kondisi tersebutlah yang menyebabkan banyaknya anak jalanan, dan juga meningkatnya angka kriminalitas. Ketika hal itu terjadi, seperti yang kita saksikan sekarang ini, maka terjadi eksploitasi terhadap anak-anak untuk turut mencari nafkah. Rasa aman kita, termasuk anak-anak, menjadi terancam dengan banyaknya kriminalitas. Dalam situasi seperti ini, anak-anak akan sulit untuk berprestasi secara optimal, karena rasa aman merupakan kebutuhan yang sangat fundamental bagi seorang anak.

Kejelasan dan ketegasan peraturan dari pemerintah kota tampak belum optimal, misalnya jika kita lihat dari adanya peraturan yang acapkali berganti tiap kali berganti pemerintahan atau pejabat yang berwenang. Hal ini merupakan contoh yang kurang baik bagi anak-anak, karena mereka butuh kepastian dalam rangka membangun disiplin dan citra diri. Di sini sebenarnya terjadi arogansi kekuasaan. Alangkah indahnya apabila dalam perumusan setiap peraturan, anak dilibatkan sebagai nara sumber, sehingga diperoleh hal-hal yang relevan dan esensial dari anak. Dengan demikian tidak perlu mengganti peraturan terlalu sering, dan peraturan yang diterapkan dapat sesuai dan jelas bagi semua pihak.

Demikian sekilas pandang dan analisa tentang dampak pembangunan kota kita bagi anak-anak kita tercinta, masa depan bangsa. Semoga konsep & model Kota Ramah Anak yang ada dapat kita terapkan di kota kita, walaupun secara bertahap, demi kemajuan dan kesejahteraan anak-anak kita.