Jakarta – kla.or.id – 5 Kementerian dan Kepolisian merasa putusan hukuman kebiri kimia tidak bisa diambil hanya melalui voting pro ataupun kontra, melainkan dibutuhkan kajian lebih lanjut dalam memutuskan hukuman tambahan ini. Demikian yang dituturkan oleh Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ketika memimpin “Pertemuan Koordinasi tentang Rencana Penyusunan Perppu Hukuman Tambahan Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak”, bertempat di Kantor Kementerian PP dan PA, (10/11).
Isu hukuman tambahan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual, belakangan sangat mendesak untuk diputuskan, untuk itu 5 Kementerian dan Kepolisian RI pun sepakat berkoordinasi membahas isu tersebut. Hadir dalam kegiatan ini Nila F. Moeleok, Menteri Kesehatan, serta perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI
“Meski Amerika Serikat,Uni Eropa, Norwegia, Polandia, Australia, Rusia, Turki, India, dan Thailand telah memasukkkan pasal kebiri ke dalam hukum pidana. Namun dalam banyak kajian ternyata sulit menerapkannya. Hukum acara mensyaratkan perlu adanya diagnose kesehatan dan implikiasi medisnya bagi tersangka pidana. Hukuman kebiri semestinya dilakukan sebagai treatment dan bukan punishment. Hasil-hasil perbandingan di beberapa Negara tersebut justru menyebutkan bahwa kebiri itu bukanlah solusi”, ungkap Yohana.
Pengkajian akan dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari psikologis, biologis, agama, hingga budaya. “Kita juga akan mengkaji efektivitas hukuman kebiri apakah ada fakta-fakta ilmiah bahwa jika hukuman kebiri kimia diterapkan, bisa menurunkan angka kejahatan terhadap anak,” imbuh Yohana.
Senada dengan hal tersebut, Nila menambahkan, “Untuk menambah hukuman berupa kebiri kimia harus dinilai dulu dari sisi kejiwaan, tidak bisa sembarangan memutuskan. Karena ditakutkan tersangka yang mendapat hukuman tersebut menjadi dendam dan menyalurkannya dengan cara-cara negatif. Pada dasarnya dibentuknya hukuman tambahan ini agar setiap tersangka yang keluar dari lapas tidak akan mengulangi perbuatannya. Maka perlu ada kajian lebih lanjut dari hukuman tambahan ini agar memberikan efek jera.”.
Sementara itu, Widodo Ekatjahjana, Dirjen Peraturan Perundang-undangan – Kementerian Hukum dan HAM, menyebut opsi penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tidak begitu tepat. Hukuman kebiri kimia menurutnya bisa dimasukkan ke dalam revisi RUU KUHP yang tengah digodok DPR. “Saya mengusulkan karena di DPR sedang digodok RUU KUHP di situ pintu masuk kita. Jalannya tidak melalui pemerintah, kita bisa melalui fraksi-fraksi di DPR,” ujar Widodo
Pro dan kontra hukuman tambahan kebiri kimia ini belakangan semakin hangat menjadi perbincangan. Yohana menilai, akan jauh lebih baik jika pemerintah menggodok permasalahan kejahatan seksual tidak hanya dilihat dari sisi hukuman tambahan tetapi juga dari sisi pencegahan.
“Tindakan preventif juga harus terus kita upayakan. Peran keluarga amat sangat strategis sebagai upaya preventif kejahatan seksual anak. Akar dari permasalahan kejahatan seksual adalah kurangnya pengawasan keluarga, kemiskinan dan akses terhadap pornografi. Kita akan berkoordinasi dengan Menkominfo tentang pembatasan akses internet terutama akses pornografi dengan mengurangi penggunaan handphone bagi anak”, tutur Yohana.
“Mendikbud juga akan lebih berkonsentrasi pada bidang pencegahan yaitu memutus mata rantainya. Hal ini kami wujudkan dengan menciptakan sekolah yang ramah anak bagi anak. Selain itu kami pun telah membentuk Permendikbud tentang tindak pecegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap anak di sekolah”, sambung Chatarina Mulyana, Staf Ahli Bidang Regulasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di akhir pertemuan, Yohana menegaskan bahwa pertemuan lintas Kementerian akan terus diupayakan, agar pembahasan hukuman tambahan akan menjadi lebih matang. Pihaknya akan terus mendorong upaya-upaya terbaik untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi anak Indonesia. (ans)