Indonesia menempati posisi ke-2 di ASEAN dan ke-7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Sekitar 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun (Susenas, 2016). Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Dampak perkawinan anak dialami oleh anak laki-laki dan perempuan. Namun, anak perempuan lebih rentan mengalami kondisi tidak menguntungkan, seperti putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi, Angka Kematian Ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural. Keseluruhan tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals/SDGs. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan.